Pilih Karier atau Keluarga?

Para perempuan bekerja, adakalanya ingin benar-benar 100 persen menjadi ibu rumah tangga. Tujuannya, supaya bisa lebih berkonsentrasi merawat, mengasuh, dan mendidik anak. Harapan bisa menyiapkan anak menjadi orang yang lebih hebat pun terbuka lebar.
Meskipun demikian, ke­inginan perempuan sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga acap berhadapan dengan keinginan masyarakat.
Secara umum, masyarakat ingin menempatkan perempuan yang berkarier di luar rumah pada posisi lebih berkelas. (Suciati, SM, 23/4/14).
Dalam kondisi demikian kaum perempuan mengalami keraguan. Mana yang harus di­pilih? Melanjutkan berkarier, atau berhenti dan mengurus anak di rumah.
Kenyataannya, dalam ke­hidup­an yang serbainstan, sudah banyak perempuan ber­karier di sektor publik.
Beberapa di antara­nya mampu menduduki posisi penting dalam jabatan manajerial. Bahkan posisi tertinggi eksekutif di negeri ini pun pernah dijabat  seorang perempuan.
Dalam hal jenis pekerjaan pun mulai terjadi pergeseran. Pekerjaan yang dulu dominan dilakukan laki-laki, sekarang pada beberapa  bidang juga dilakukan para perempuan.
Dari pekerjaan yang mempunyai ”prestise” sampai pe­kerjaan kasar, seperti buruh panggul, ataupun tukang becak.
Apakah perempuan sudah berubah? Jawabnya tidak. Walau­pun perempuan menun­juk­kan satu sisi kelebihannya, satu sisi lain menunjukkan ”hati” perempuan tetap di rumah, yaitu mengurus kelu­arga.
 Maka bisa kita melihat bahwa sebagian besar pekerjaan yang dilakukan perempuan pun tidak jauh berbeda dari perannya dalam keluarga, seperti mengasuh, merawat, dan mendidik.  Bagaimanapun ke­tika pe­­rem­puan be­kerja akan ada sisi po­sitif dan negatif yang melingkupi.  Dari sisi positif, ia memperoleh keterampilan tertentu, dapat berkontribusi pada hubungan yang lebih setara antara suami dan istri, juga meningkatkan harga diri.
Perempuan bekerja tidak se­mata-mata guna memenuhi ke­butuhan ekonomi tapi juga untuk aktualisasi diri.
Karier dan Keluarga
Ia bahkan bisa menjadi model positif bagi perkembangan anak, yang akan menirunya, dan membanggakannya.  ”Ke­rugian” yang mungkin terjadi, ia memiliki peran kompleks menghadapi persoalan dalam pekerjaan dan keluarga.
Misalnya tuntutan waktu dan tenaga yang lebih banyak, konflik antara peran pekerjaan dan ke­luarga, dan ada kemungkinan perhatian terhadap anak kurang ter­pe­nuhi.
Melihat sisi positif dan negatif ter­­sebut, tiap perempuan mem­punyai pilihan dan ada  konsekuensinya. Namun bila ada win-win solution, dengan berkarier tanpa meninggalkan keluarga, mengapa tidak?  Jadi, perempuan bisa tetap bekerja tanpa me­ninggalkan kodrat se­bagai istri/ibu.
Hasil penelitian Handa­yani, dkk (2014) menunjukkan ke­tika ibu bekerja tapi masih mau meluangkan waktu me­rawat dan mengasuh anak, se­perti bermain bersama, menemani anak membuat PR maka tumbuh kembang anak akan lebih baik.
Meskipun demikian, pada ibu yang tak bekerja sekalipun, yang seharusnya punya banyak waktu untuk anak, tapi kurang memperhatikannya maka  tumbuh kem­bang anak tidak op­timal.
Permasalahan bukan semata-mata ibu bekerja atau tidak me­lainkan bagaimana ia mau atau tidak me­luangkan waktu untuk mem­per­hatikan demi ke­se­jah­teraan anak.
Bagi  ibu bekerja, dari sisi kuantitas waktu mungkin tidak banyak yang bisa dilakukan. Namun jika dari sisi kualitas terpenuhi, hal itu pun sangat ber­makna bagi tumbuh kembang anak. Intinya ketika seorang ibu komit pada pekerjaan sekaligus keluarga maka keseimbangan antara kerja dan keluarga demi keberhasilan keduanya lebih mudah dicapai.
 ma­sya­rakat juga menuntut ke­ber­hasilan perempuan karier adalah ketika ia mampu berperan sebagai ibu dan istri di rumah, di samping bertanggung jawab terhadap pe­ker­jaan­nya? (10)

— Arri Handayani SPsi MSi, dosen Pro­di Bim­bingan dan Kon­seling FIP Univer­sitas PG­RI Sema­­rang, mahasiswa S-3 Ilmu  Psikologi UGM

(Sumber : Suara Merdeka Cetak, 5 April 2014)
Minggu, 05 April 2015
Tag :

Orang tua bijak, sahabat anak

Keluarga adalah yang pertama dan utama sebagai peletak dasar pembentukan kepribadian anak, karena sebelum anak mengenal lingkungan lain, keluargalah yang terlebih dahulu memberikan pondasi untuk membentuk kepribadian anak. Meskipun demikian, orang tua kadang kurang tepat dalam memperlakukan anak. Memang, untuk menjadi orang tua tidak ada sekolahnya, dengan demikian ketika menjadi orang tua biasanya mereka berkaca dari apa yang telah mereka alami dulu ketika masih anak-anak. Padahal bisa jadi apa yang dialaminya dulu sudah tidak efektif lagi untuk diterapkan saat ini. Oleh karena itu, dalam tulisan kali ini akan dipaparkan bagaimana menjadi orang tua efektif agar anak dapat berkembang dengan baik.

Beberapa hal tersebut adalah :
1. Mau meminta maaf kepada anak jika berbuat salah.
Banyak orang tua tidak mau meminta maaf ketika melakukan kesalahan pada anak, bisa karena gengsi, bisa juga karena sebab yang lain, bahkan orang tua cenderung menyalahkan anak. Contohnya, ketika seorang anak jatuh terpeleset karena lantai yang licin, orang tua mengatakan, “Kamu tidak hati-hati sih, makanya jatuh!”. Tapi ketika orang tua yang terpeleset, seringkali orang tua tidak mengatakan bahwa dirinya tidak hati-hati tetapi cenderung menyalahkan anak. “Kamu sih, main air sembarangan ! mama jadi terpeleset nih!”

2. Mau mengucapkan mengucapkan terima kasih.
Banyak orang tua juga yang tidak mau menucapkan terima kasih setelah meminta pertolongan kepada anak, padahal ketika orang tua mau berterima kasih, anak merasa dirinya dihargai, dan pada akhirnya anak juga akan melakukan tindakan yang sama setelah meminta pertolongan pada orang lain.

3. Menepati jika berjanji.
Seringkali orang tua mengumbar janji hanya sekedar untuk meng”iya”kan keinginan anak. Maka ketika anak menagih janji tersebut orang tua akan kebingungan. Hendaknya orang tua menepati janjinya yang telah disepakati bersama anak, karena jika orang tua selalu mengingkari janji membuat anak tidak percaya kepadanya.

4. Tidak memberikan “label” pada anak.
Dalam keluarga, setiap anak mempunyai nama panggilan berdasarkan kebiasaan waktu kecil. Hal itu pada awalnya tidak dimaksudkan buruk, justru menunjukkan rasa sayang & menerima anak apa adanya. Akan tetapi, tanpa disadari pemberian “label” semacam itu bisa mempengaruhi perkembangan anak karena akan mempengaruhi citra anak terhadap dirinya, dan akhirnya citra semacam itu akan selalu melekat pada dirinya. Jika citra diri itu positif, dampaknya tidak terlalu bermasalah, tetapi jika citra diri itu negatif bisa jadi akan menyebabkan anak menarik diri dari lingkungan atau merasa keterusan untuk memakai “label”itu. Contoh, anak yang mendapat panggilan ‘gendut”, bisa menjadi pemalu dan tidak mau bergaul karena predikat itu. Sementara anak yang mendapat julukan “malas” atau “bodoh” bisa jadi ia tidak akan merubah diri, karena dalam pikirannya berbuat apapun ia toh tetap akan dikatakan sebagai pemalas atau anak bodoh.

5. Senyum dan memberi sentuhan fisik
Senyum adalah sodaqoh, dan anak akan berkembang dengan emosi yang positif ketika orang tua banyak tersenyum kepadanya. Sementara itu ciuman atau belaian singkat juga sangat dianjurkan untuk diberikan pada anak, karena hal itu bisa memberikan rasa aman. Misalnya kita memberikan ciuman saat anak berbuat baik atau ketika ia hendak pergi ke sekolah. Tetapi orang tua perlu sensitif melakukannya, karena bisa jadi anak merasa malu dengan cara orang tua mengekspresikan rasa sayangnya, terutama di hadapan teman-temannya.

6. Lebih baik melakukan tindakan daripada sekedar kata-kata.
“ Ayo, kakak, ini sepatunya ditaruh dimana? Sana taruh di tempatnya ! kenapa bajumu dilempar begitu ?” Demikian, sering terdengar ungkapan para ibu ketika anaknya pulang sekolah. Akan tetapi kata-kata ibu tersebut tidak dibarengi dengan tindakan untuk segera menangani anak. Akan lebih efektif jika ibu bersama-sama dengan anak untuk membereskan semua itu. Misalnya dengan mengatakan, “Ayo kak, mama bantu menaruh barang-barangmu.” sambil melakukan tindakan tersebut.

7. Lebih merespon ketika anak berbuat negative, daripada ketika anak berbuat positif.
Ketika seorang anak seharian tidak rewel atau ketika bangun tidur kemudian membereskan tempat tidurnya sendiri tidak ada komentar ataupun pujian dari orang tua atas tindakan anak, karena orang tua merasa sudah seharusnya demikian yang dilakukan seorang anak. Akan tetapi ketika anak banyak melakukan tindakan yang negatif, orang tua justru akan meresponnya. Hal ini akan menyebabkan anak cenderung mengulang tindakan negatifnya itu, karena bisa jadi anak berbuat negatif karena ingin mendapatkan perhatian orang tua.

8. Tidak mengucapkan kata “jangan”
“Jangan bermain di luar, di sini saja!’ Demikian, salah satunya larangan orang tua, dan masih banyak lagi jangan- jangan yang lain. Ketika orang tua melarang anak untuk melakukan sesuatu dan mengatakan “jangan!”, dampaknya justru hal itu lebih direspon oleh anak. Karena sesungguhnya anak menjadi penasaran, mengapa ia tidak boleh bermain di luar, sehingga lebih baik jika orang tua mengatakan, “Adik main di dalam saja, di luar udaranya dingin, kan habis hujan!” Dapat dikatakan bahwa larangan akan lebih efektif jika orang tua mengatakannya dalam kalimat positif dengan menjelaskan alasannya.

9. Menghargai pertanyaan anak.
Anak yang banyak bertanya dan bahkan suka “mengganggu” orang tuanya cenderung lebih cerdas daripada anak yang pasif. Akan tetapi ada orang tua yang jengkel ketika anak banyak bertanya karena merasa menganggangu pekerjaannya, yang akhirnyta ia meminta anak untuk berhenti bertanya atau memberikan jawaban yang asal saja. Padahal interaksi anak dan orang tua seperti bermain atau melakukan kegiatan di rumah bersama anak, juga merangsang anak untuk lebih banyak bertanya akan menentukan kecerdasannya. Dengan demikian orang tua hendaknya meladeni pertanyaan-pertanyaan anak dengan jawaban yang dapat diterima sesuai pemahaman anak.

10. Tidak menghukum secara fisik
Orang tua tidak dianjurkan untuk memberikan hukuman fsik kepada anak. Karena ketika pada awalnya hukuman fisik diberikan, seperti dipukul, maka anak akan mengalami kesakitan sehingga ia akan menghentikan perilakunya yang menurut orang tua tidak baik. Akan tetapi lama kelamaan ketika anak dipukul lagi, ia sudah tidak merasakan sakitnya karena sudah terbiasa, sehingga hukuman fisik ini sudah tidak efektif lagi walaupun orang tua sudah meningkatkan cara memberi hukuman, yang membuat anak semakin sakit. Dengan demikian, memukul bukan hanya tidak efektif untuk menerapkan disiplin, tetapi juga bisa melukai harga diri anak dan merugikan hubungan anak-orang tua. Orang tua juga tidak disarankan untuk memarahi anak di muka umum, di hadapan teman-temannya, karena inipun akan melukai harga diri anak. Akan lebih baik jika anak ditegur ketika ia seorang diri.
Jika orang tua dapat menerapkan hal-hal tersebut, dimungkinkan anak dapat menjalani kehidupannya dengan lebih baik, tanpa tekanan, tanpa celaan dan tanpa ketakutan, tetapi hidup dalam lingkungan yang penuh penerimaan dan rasa aman, sehingga ia akan berkembang menjadi pribadi yang positif, karena pada dasarnya anak belajar dari bagaimana ia diperlakukan oleh lingkungannya. Semoga kita termasuk menjadi orang tua dambaan anak-anak.
Minggu, 15 Februari 2009
Tag :

Popular Post

Labels

- Copyright © Smart Mom -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -